Menerima dan Memberi

Ahmad Gibson Albustomi (Baba Icon)

Pendahuluan

Ada banyak petatah-petitih dan nasihat untuk menjadi orang yang memiliki sikap dan sipat pemberi, dermawan. Dan, tentunya disisipi dengan anjuran untuk ikhlas dalam laku sebagai pemberi tersebut. Pernyataan sisipan tesebut tentunya berdasar anggapan bahwa terdapat banyak pemberi dan dermawan akan tetapi tidak dibari dengan keihklasan. Tapi, mengapa?

Laku memberi tentunya berkenaan dengan apa yang (paling tidak dianggap) dimilikinya, milik sendiri. Dan, apa yang dimilikinya itu bukan sesuatu yang ada dan datang tanpa sebab. Ada dan dimiliki sebagai hasil usaha yang dilakukannya dengan mempertaruhkan banyak hal. Apa yang dipertaruhkannya pun tentunya (dianggap) miliknya sendiri, tidak mungkin mempertaruhkan milik orang lain.

Siapa pun bisa memiliki sesuatu tentunya merupakan hasil usahanya, jerih payahnya. Mempertaruhkan (modal) yang tidak sedikit, bahkan tidak jarang mempertaruhkan jiwa dan yang dianggapnya sangat berharga. Kemudian, sesutu yang dimilikinya itu diberikan kepada orang lain, begitu saja. Begitu saja? Tanpa mengharap apa pun dari orang yang diberinya? Rasanya mustahil, sangat mustahil.

Kalau tidak mustahil, artinya ada orang yang melakukannya, tentunya karena sebab atau motif tertentu. Sebab yang paling tidak senilai dengan apa yang diberikannya.

Kodrat Manusia: Menerima

Kehadiran dan kelahiran manusia ke muka bumi terlahir tanpa proposal dan permohonan yang kita ajukan. Kehadiran kita tak lain karena “entah”. Agama (Islam) menyebut entah itu sebagai Tuhan, Allah SWT. Itlah satu-satunya alasan, karena kita pun tidak pula tahu secara pasti apa alasan Allah SWT. Menurunkan kita ke dunia sebagai manusia, bukan yang lain. Karena itulah kita sebut kehadiran, hidup dan kehiduan, kita di dunia ini sebagai anugrah. Sebagai “pemberian”, dalam paradigma lain disebut sebagai “keterlemparan”. Sebagai orang yang beragama, bukan hanya lebih etis, akan tetapi juga berelasi dengan keyakinan imani, maka kita harus menyebutnya sebagai anugrah atau pemberian.

Sebagai anugrah atau pemberian, tentunya sangatlah etis kalau kita mengikrarkan, menyambut atau menyikapi pemberian itu. Dan tentunya dengan cara positif. Yaitu, dengan cara “menerima”. Meng-afirmasi pemberian itu menjadi penting, bahkan sangat penting. Karena, akan sangat berbeda ketika kita menjalani hidup ini antara sebagai pemberian, dengan menjalani hidup sebagai keterlemparan, sebagai “entah” atau sebagai sekedar kebetulan alami’ah seperti yang diyakini dalam paradigma sains modern.

Bila, atau karena kodrat kehadiran kita di dunia, berarti juga bahwa hidup dan kehidupan kita di dunia ini, tidak lain sebagi pemberian, maka basis eksistensi paling fundamental manusia, dalam perspektif Islam (dan tentu juga dalam agama lain) tidak lain dari pemberian. Dan aktualisasi eksistensinya adalah ”menerima”, lain tidak. Artinya, manusia eksis sejauh ia (mau) menerima. Semakin baik dalam cara dan penyikan dalam menerima, maka eksistensi manusia itu semakin tinggi dan aktual.

Penolakan terhadap kodrat kehadiran manusia di dunia sebagai yang terberi (diberi), maka secara teologis adalah penolakan terhadap wujud Sang Pemberi, Tuhan, tak lain dari kufur. Karena wujud paling rasional dan mumkin dari keimanan atas ada dan keberadaan kepada Allah SWT. tidak lain dari keimanan dan pengakuan atas af’al Allah SWT., yang salah satunya adalah Yang Maha Pemberi. Maka, ekspresi keberimanan yang pertama harus tertanam dalam dada (rasa), pikiran dan prilaku adalah ekspresi sikap menerima apa yang telah Allah SWT. anugrahkan kepada kita, manusia.

Menerima dan Memberi

Wujud paling asali sikap menerima dari seorang manusia hadir dalam sosok seorang bayi. Kita semua pernah bayi, tapi tentunya kita telah lupa atau bahkan tidak pernah ingat saat ketika kita bayi. Oleh karena itu, sangat sulit atau bahkan tidak mungkin kita merasakan bagai mana sikap kita dalam menjalani hidup di saat bayi. Tapi, kita bisa lihat dan amati hal tersebut dari ekspresi relasi dan keterhubungan antara bayi dengan orang tuanya. Apa pun yang terjadi dengan bayi, sang orang tua akan selalu merasa senang, dan bahagia. Orang tua mendapat kebahagiaan dari bayi, itu artinya bayi telah memberikan sesuatu yang membuat orang tua merasa kebahagiaan. Sedemikian bahagianya, orang tua rela untuk melakukan dan mengorbankan apa pun untu bayinya. Bahkan, ketika bayinya mengalmi sakit, tidak jarang orang tua yang menyediakan dirinya untuk menggantikan penderitaan sakit yang dirasakan oleh bayinya. Bukan mustahil bahkan jiwanya pun rela untuk digantikan dengan kesembuhan dan kelangsung kehidupan bayinya. Hal itu karena, bayi memiliki sikap pasrah dan menerima apa pun yang Allah anugrahkan atas dirinya. Kepasrahan dan sikap menerima yang bulat ini, secara otomatis memancarkan “aura” yang sama pada orang tuanya. Pancaran sikap menerima yang tulus dari sang bayi menular menjadi sikap tulus orang tua atas keadaan bayinya. Dari sikap tulus dalam menerima itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan kesediaan untuk berkorban demi kesehatan dan kelangsungan hidup bayinya.

Ketika kita memiliki kemampuan untuk menerima, pada saat yang sama akan muncul sikap memberi yang tulus pula. Ketika kita menerima dengan syarat, maka kita pun akan memancarkan sikap memberi dengan syarat pula.

Manusia pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Semuanya adalah milik Allah. Semuanya, dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Termasuk kemampuan kita untuk menerima dan atau pun memberi; apalagi berkenaan dengan apa (sesuatu) yang kita terima dan apa (sesuatu) pun yang kita berikan. Di saat kita merasa dan sadar bahwa kita tidak memiliki apa pun, maka apa pun yang kita terima (dari Allah, atau siapa pun – dalam arti denotatif), kita tidak akan merasa kehilangan apa pun ketika ia memberikan sesuatu itu pada yang lain.

Intinya, sikap dan cara pandang kita dalam menerima sangat menentukan bagaimana sikap kita dalam memberi, tidak berlaku sebaliknya. Dengan demikian, hal pertama yang harus kita pelajari dan sadari adalah tentang cara dan sikap kita dalam menerima.

Wallahu’alam.

27-28/8/2020

Kemerdekaan dan Dosa di Mata Iqbal

Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

Cuma Gereja, kuil, masjid,rumah berhala
Kau bangun lambang-lambang penghambaanmu
Tak pernah dalam hati kau bangun dirimu
Hingga kau tak bisa jadi utusan merdeka.

(Muhammad Iqbal)

TEMAN saya bercerita tentang pembicaraannya dengan seorang abdi dalem keraton. Berpijak pada asumsi bahwa sikap abdi dalem (yang kebetulan temannya juga) kepada majikannya, Sultan, sebagai sikap keterjajahan, teman saya bertanya, “Apakah Anda tidak merasa dalam keadaan terjajah, dan tidak berusaha keluar dari keterjajahan itu?” Sang abdi dalem menjawab bahwa ia sama sekali tidak merasa terjajah, karena pengabdiannya kepada Sultan disikapi sebagai penghormatan dan ketaatannya kepada bangsanya. Dan, bahkan bila ada orang yang memaksa dia untuk tidak taat pada Sultan dan melarang tatakrama dalam menghadap Sultan, ia menganggap bahwa larangan itulah penjajahan bagi dirinya. Continue reading

Membuka dan Membangun Visi; Mengetuk Pintu Gerbang Filsafat

Pada Awalnya…?

Asal, arche. Seorang individu manusia hadir dan menginjakkan kakinya ke dunia tidak dari titik awal ruang-waktu. Ia memijakkan kakinya di atas hamparan ruang-waktu yang sedang dan telah lama berjalan, berputar. Bahkan, kehadirannya merupakan “konsekwensi” dan keberlanjutan dari langkah-langkah manusia sebelumnya (?). Entah kapan dan petak-petak mana yang menjadi awal? Oleh karena itu ia sering bertanya pada pembuat langkah dari generasi sebelumnya. Dan kemudian dengan “terpaksa” ia harus tunduk pada pengarahan (direction), pengajaran  dan orientasi orang tua dan generasi tua mereka. Mengerti atau pun tidak. Membantah akan dianggap membikin payung di saat hujan sedang berlangsung, kehujanan. Continue reading

Sekali Lagi: Si Kabayan, Pribadi yang “Teu Nanaon ku Nanaon”

Oleh Ahmad Gibson Al-Bustomi

Dalam sebuah diskusi apresiasi film “Sikabayan Saba Kota”, saya diingatkan kang Didi Petet satu hal tentang karakteristik atau lebih tepatnya cara pandang Si Kabayan dalam menjalani kehidupannya, yaitu “teu nanaon ku nanaon”. Prinsip hidup Si Kabayan ini memang sangat dikenal, sebagai cara pandang yang sangat khas “Kabayan”. Maksudnya, siapa pun yang banyak membaca, atau mendengar dan penutur cerita Si Kabayan, ia tahu dengan pasti bahwa Si Kabayan sangat dikenal sebagai sosok yang berpegang pada prinsip tersebut, “teu nanaon ku nanaon”.

Sulit dipastikan, prinsip apakah –yang diasumsikan (diyakini)—yang menjadi pandangan hidup hidup Si Kabayan? Cara pandang hidup yang membentuk kepribadian Si Kabayan sebagai pribadi yang tulus (lugu, polos?), dan juga cerdas, optimistik serta senantiasa menjalani kehidupannya dengan ceria (hirup mah durirang durang duraring, atau hirup mah heuheuy jeung deudeuh). Apa pun yang ia jalani dan ia terima, selalu disikapi dengan cara yang sama: easy going atau painless. Tak ada bedanya, apakah ia menghadapi kesulitan mapun kesenangan. Namun demikian, kadang juga ditemukan sikap hidup Si Kabayan yang digambarkan benar-benar berbeda dengan orang pada umumnya. Seperti tampak pada gambaran ketika Si Kabayan menjalani (nyorang) jalan menanjak dan menjalani jalan yang menurun. Ketika Si Kabayan menjalani jalan yang menanjak ia selalu tesenyum penuh kebahagiaan, karena yakin bahwa setelah itu akan menghadapi jalan yang menurun. Namun sebaliknya ia akan merasa sedih ketika menghadapi jalan yang menurun, karena tidak akan lama lagi akan menghadapi jalan yang menanjak. Gambaran tersebut merupakan ilustrasi dari sikap arif ketika Si Kabayan menghadapi kehidupan yang senantiasa berubah, pasang surut. ketika ia menghadapi kesulitan hidup ia tidak pernah pesimis, karena ia yakin, setelah seseorang (siapa pun) itu ia akan berhadapan dengan kemudahan dan kebahagiaan. Dan sebaliknya, ketika ia sedang dalam kemudahan dan kebahagiaan, ia bersikap hati-hati, karena bukan mustahil setelah itu akan mengahdapi kesulitan dan penderitaan. Itulah mungkin mengapa orang beranggapan bahwa Si Kabayan memiliki prinsip (azimah) teu nanaon ku nanaon dalam menjalani kehidupanya. Suatu sikap dan cara pandang yang sangat sulit ditemukan dalam individu dan masyarakat yang menamakan dirinya sebagai individu dan masyarakat modern. Alih-alih menjadikan “cara pandang Si Kabayan” sebagai alternatif sikap hidup yang positif, malah dianggap sebagai sikap yang tidak peka dan tidak bertanggung jawab.

Ketika kang Didi Petet mengingatkan pandangan hidup Si Kabayan sebagaipribadi yang “teu nanaon ku nanaon”, saya jadi teringat dengan karakteristik manusia yang berada dalam maqom atau derajat Insan Kamil (lautan Kainsanan) yang dijelaskan oleh K.H. Hasan Mustapa (Sufi dan Budayan Sunda yang juga dianggap mahiwal). K.H. Hasan Mustapa menyebutkan bahwa salah satu sikap hidup seorang yang telah sampai pada maqomat atau derajat Insan Kamil adalah “taya luhur taya handap, sampurna taya kakurang, sampurna walatra, beda soteh pangersana paranimana, jatnika ku sangsarana”. Saya melihat bahwa cara pandang ketasawufan ini sama atau mirip dengan cara pandang Si Kabayan, “teu nanaon ku nanaon”. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi bahwa Si Kabayan senantiasa “jatnika ku sangsarana”, dan senang atau pun susah bagi Si Kabayan tidak dipandang sebagai kenyataan “objektif”, melainkan sebagai kenyataan subjektif dari bagaimana ia menyikapi (mengapresiasi) atau menerima pengalaman yang dialaminya, “beda soteh pangersana panarimana”.

Terdapat satu kerakteritik yang mesti kita “pahami” dalam mengapresiasi sikap dan cara pandang dan kehidupan Si Kabayan, yaitu pada “logika” atau paradigma yang digunakannya. Bila kita menyimak alur logika Si Kabayan dalam hampir semua cerita Si Kabayan, kita akan menemukan yaitu bahwa Si Kabayan senantiasa menuntut kita untuk “menyimpan dalam tanda kurung” (melakukan “reduksi eiditik”, istilah Fenomenologi) cara berfikir awam kita yang cenderung formal dan linier (vertikal). Bila tidak, kita akan merasakan betapa logika kita diputarbalikan sedemikian rupa, dan kita akan “kebingungan” dan bertanya-tanya siapa sebenarnya yang “gila”? Dengan cara berpikir ala Si Kabayan ini, kita dipaksa dan disudutkan pada suatu posisi dimana kita dengan malu-malu atau dengan jantan akan membuka kedok dan kepalsuan yang sekian lama menutup pikiran dan nurani kita. Dan, dengan cara demikian kita tidak pernah merasa “dijatuhkan” atau dipaksa untuk mengaku jatuh oleh logika Si Kabayan, karena kita sendirilah yang menaklukan logika kita sendiri. Prinsip yang mirip dengan apa yang sering para mursid tariqat katakan tentang keberhasilan muridnya, “usaha dan keuletan sang muridlah yang membuat ia berhasil bukan karena kecerdasan sang mursyid dalam mengajarkan ketasawufan”.

Teu nanaon ku nanaon, itulah salah satu inti dasar ke’arifan yang bisa kita pelajari dari cerita Si Kabayan. Ke’arifan yang mengajarkan kita tentang cara menerima dan menjalani kehidupan. “Menerima dan menjalani kehidupan” sebagai anugrah yang murni diberikan oleh Tuhan, manusia tidak pernah meminta, merencanakan apalagi membuatnya. Dan, oleh karena itu Si Kabayan menerima anugrah itu dan memandang dalam kacamata yang positif. Ia sadar bahwa secara faktual manusia ditakdirkan untuk hidup bergandengan dengan alam, oleh karena itu Si Kabayan menjadikan alam sebagai teman, bahkan sebagai bagian integral dari dirinya sendiri. Kehidupan Si Kabayan adalah prototipe manusia yang tidak mengenal dan tidak pernah akrab dengan konflik. Kalaupun ia menemukan sesuatu yang bernuansa konflik, dipandangnya sebagai potensi positif yang membuat sejarah kehidupan manusia menjadi dinamis. Potensi yang membuat pelangi di angkasana sana tampak indah namun tidak pernah bisa disentuh.

Sebagai pribadi yang menjadi icon dari kearifan lokal “Sunda-lembur”, mungkinkah ia menjadi alternatif bagi masyarakat Sunda, dan manusia secara kesuluruhan, yang hidup di perkotaan dan menapakkan kakinya di era modern ini? Ketika persolan ini mengemuka, terdapat kegamangan, antara kemestian dan kekhawatiran. Kearifan, dari mana dan siapa pun, secara substansial dalam dirinya (inhern) merupakan “nilai” universal yang tidak hanya menjadi milik satu masyarakat atau komunitas tertentu saja. Ia menjadi sebuah kemungkinan (alternatif) bagi masyarakat lainnya. Konteks yang menjadi kemestian kearifan ala Si Kabayan ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat modern. Namun, di sisi lain terdapat pula kekhawatiran, kekhawatiran yang kurang lebih sama dengan kekhawatiran sejumlah dalang dan tokoh budayan terhadap upaya Asep Sundandar Sunarya ketika ia melakukan beberapa improvisasi dalam pagelaran wayang goleknya. Kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dari “tali paranti” atau pagu. Kekhawatiran ini sebenarnya cukup bahkan sangan beralasan, sehingga kita tidak perlu menganggapnya sebagai sikap berlebih-lebihan. Karena, kekhawatiran tersebut tentunya bukan terlahir dari sikap picik dan ortodoks, akan tetapi harus dipandang sebagai satu sikap dan ekspresi dari apresiasi dan keceintaan mereka terhadap budaya warisan leluhurnya. Tarik-ulur dalam mengapresiasi warisan budaya para pendahulu suatu bangsa mupakan kenyataan yang membuat suatu bangsa dengan kebudayaannya mampu bertahan sampai kini.

Dalam konteks ini, kita dituntut untuk bersikap arif dan melihat persoalan ini secara proporsional dan penuh tanggung jawab. Jangan sampai, seperti digambarkan dalam cerita Si Kabayan yang menceritakan bagaimana orang cenderung menjadikan aspek-aspek permukaan (furu, pakaian) sebagai unsur utama dibanding aspek-aspek substansil. Seperti terungkap dalam cerita Si Kabayan ketika tetangganya mengadakan hajatan. Ketika Si Kabayan hadir dengan pakaian yang sangat sederhana, tak seorang pun yang menghiraukannya, termasuk tuan rumah. Namun ketika si kabayang mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bagus dan bersih, Si Kabayan disambut dan disuguhi hidangan yang serba lejat di meja yang disediakan secara khusus. Melihat gelagat tersebut, Si Kabayan membuka pakaiannya dan ditaruhnya pakaiannya di atas hidangan tersebut sambil berkata: “hai baju yang bagus, makanlah hidangan uyang lejat-lejat ini, karena makanan ini diseuguhkan untuk menyambut dan menghormatimu, bukan aku!”.

Restorasi dan apresiasi dan terhadap nilai dan budaya, merujuk pada filosofi Si Kabayan tersebut, harus mendahulukan dan meletakkan nilai-nilai substantif sebagai unsur prioritas di atas unsur-unsur luaran. Namun demikian, bukan berarti kita boleh secara semena-mena mencampakkan unsur luaaran dari tradisi dan warisan budaya suatu masyarakat, karena relasi antara kedua unsur tersebut sekompleks unsur-unsur sejarah yang terlibat dalam proses kreatifnya.

Namun demikian, upaya-upaya untuk merestorasi dan “merevisi” nilai-nilai kearifan alan Si Kabayan bagi masyarakat kontemporer harus pula disikapi sebagai upaya yang tidak kecil artinya bagi kehidupan dan perkembangan budaya Sunda pituin. Insya Allah.

Pikiran Rakyat 5 Maret 2005